Sore yang sangat kelam di sekitar rumah yang sepi, dedaunan yang
jatuh seakan begitu iklas merebahkan dirinya ke tanah, setitik demi
setitik air hujan menetes membasahi rerumputan. Sore itu begitu tenang,
tampa canda, tawa, senyuman, seakan-akan hidup dalam kesendirian,
meratap tangisan alam yang durja.
Aisah sedang duduk termenung sendiri melihat ke arah pepohonan di
depan gubuk yang sederhana. Tergambar di raut wajahnya rasa cemas dan
gelisah. Matanya menatap tajam ke arah tungku perapian, disitulah wanita
separuh baya sedang duduk menanak nasi, tubuhnya yang lemah, dan kriput
di wajahnya membuat Aisyah tidak bisa menahan air matanya. “ais…
aisyah..” suara itu terdengar begitu miris dan menyengat batinnya,
“kuatkah aku, pabila hal yang tidak aku inginkan terjadi kepadaku”.
Jerit hatinya seraya menghapus tetesan air mata yang membasahi pipinya
yang merona. “ada apa ibu, ibu sedang sakit kenapa ibu harus menanak,
biarlah ais yang menanak nasi”. Wajah cemas aisyah begitu tergambar dari
raut wajahnya yang begitu belia. Aisyah masih terbilang muda, usianya
yang baru menginjak 17 tahun ini, begitu mengerti pahit ketirnya
kehidupan. Aisyah lahir di keluarga yang sederhana, orangtuanya seorang
petani dan ibundanya sedang sakit-sakitan beberapa tahun terakhir ini.
Aisyah tidak bisa melanjutkan sekolah karena perekonomiannya tidak
mendukung tapi harapan dia untuk mendapatkan ilmu tidak putus sampai
sini, di desanya dia mengajar mengaji dan mengajar anak-anak yang tidak
mampu.
“nak!!! tolong kasih nasi ini ke bapak mu, kasihan dia sudah sesore
ini belum makan siang, dan Bantu bapakmu membawa barang-barangnya”,
dengan nada yang lemah, namun senyuman selalu terukir dari bibir wanita
paruh baya itu, yang membuat hati aisyah selalu gelisa. “ibu.. ibu harus
istirahat.. biar ais yang melakukan pekerjaan rumah, aisyah pamit dulu,
Assalamualaikum..!”, “waalaikum salam”.
Di perjalan menuju sawahnya aisyah bertemu dengan salah satu ustad
yang juga membantu aisyah mengajar di mushola dekat rumahnya.
“Assalamualaikum neng..”, “waalaikum salam!!, kakak dari mana?” mencoba
memandang wajahnya, walau dalam hatinya menjerit, sesesok yang membuat
dia mengerti arti kekaguman yang mendalam, keelokannya, ketabahannya dan
kesholehannya, sepasang mata itu saling bertatapan, sesegera mata-mata
yang menjelajah memasuki akal menundukkan kepala mereka berdua, “a a a
anu, saya dari sekolah, habis membantu mengajar bahasa. Inggris di
sana”, meliahat keanehan dalam raut wajah pemuda itu aisyah tersenyum
dan membuat lesung pipi di sebelah kanan pipinya terlihat..
Pemuda itu sering di sebut dengan kak zam zam oleh murid-muridnya
yang polos, nama sebenarnya adalah, Ahmad khoiru Adzam. Nama yang
terbilang keren di kalangan gadis-gadis muslimah. “saya pamit duluan
kak, bapak saya sudah menunggu saya, Assalamualaikum”, aisyah belalu
dengan cepat sehingga adzam tidak sempat untuk menjawab salam dari
seorang gadis yang menggoyahkan hatinya tersebut.
Hari semakin petang, matahari seakan sudah siap menyelimuti siang
dengan kegegelapan, di kejauhan terlihat sesosok laki-laki paruh baya
sedang duduk-duduk termenung, dahinya mengerut seakan terdapat beban
berat yang dipikulnya, “Assalamualaikum” aisyah duduk di samping ayahnya
dan mengelurkan nasi untuk diberikan kepada laki-laki yang amat ia
cintai “Waalaikum salam.” Laki-laki itu tersenyum seraya mengelus kepala
anaknya yang terlihat begitu ayu dengan balutan kerudung putihnya. “apa
yang harus aku lakukan untuk kedua orangtuaku, beban yang dipikul kedua
orangtuaku begitu berat, Ya Allah inikah takdir darimu, ku serahkan
semuanya kepadamu Ya Ilahi Robbi”, jerit hatinya melihat kedua
orangtuanya.
Hari ini begitu cerah matahari bersinar begitu elok dari ufuk timur,
bunga-bunga melati bermekaran membuat suasana membawa angan ais terbang
melayang mengingat kejadian kemarin sore, wajah tampannya terbayang di
angan-angannya seakan menembus hatinya yang mulai beku dengan harapan
yang buntu. Aisyah tersenyum-senyum seraya mengambil air di semur,
setibanya di rumah dia terkejut dengan kedatangan pemuda yang belum
pernah ia lihat sebelumnya. tatapannya menatap tajam ke arah bapak dan
ibundanya yang tersenyum girang, “betapa bahagianya kedua orangtuaku”,
hatinya berbisik. “Aisyah sini nak..”, wanita paruh baya memanggilnya
masuk ke teras gubuk rumahnya yang sederhana. “iya ibu ada apa?”, aisyah
masuk dengan hati yang cemas dan dengan rasa yang penuh penasaran “nak
pemuda ini adalah seseorang yang akan meminangmu untuk adiknya, ayah dan
ibu sudah menjodohkanmu dengan adik pemuda ini, dan ia kesini ingin
segera meminangmu dan menikahimu”, dengan senyuman yang menyentuh hati
aisyah, batin aisyah tergoncang di dalam pikirannya hanya pemuda itu
yang sangat ia kagumin, “bagaimana nak” sahut bapaknya sambil menahan
batuk dan sesak di dadanya. “cepatlah menikah nak, sebelum ayah dan
ibumu meninggal, mendengar hal itu aisyah tidak bisa menahan air
matanya, hatinya menolak tapi ia tidak bisa menolak keinginan kedua
orangtuanya, ia hanya bisa berharap kedua orang tuanya bisa bahagia
dengan pernikahaannya nanti “Bismillah hirrohmannirrohim, saya mau
menikah dengan pemuda yang telah ibu dan bapak pilihkan untuk saya”,
mendengar perkataan aisyah, semua mata tertuju pada aisyah dan tersenyum
bahagia, aisyah pun berusaha membalas senyuman itu dengan iklas.
“terima kasih aisyah, nama saya adalah yusuf”, aisyah hanya bisa
menundukkan pandangannya, hatinya sedih dan pikirannya kacau “besok kamu
ikut akang ke rumah, karena tiga hari dari hari ini pernikahanmu akan
dilaksanakan, baiklah saya pamit, Assalamualaikum”, “waalaikum salam”.
Malam sudah menghampiri hari aisyah, tapi tak sedikit pun bintang
menemani malamnya, “Ya Allah hamba mohon, apabila ia memang jodoh hamba
yang telah Kau gariskan maka yakinkanlah hati hambaMu ini”, dalam
sujudnya aisyah menangis, sampai seorang bocah kecil menghampirinya
“kakak kenapa?, apa Allah memukul kakak?” mendengar hal itu aisyah
tersenyum manis, “tidak dek, Allah tidak pernah memukul kakak, Allah
sangat sayang pada setiap hamba-hambaNya, apalagi hamba yang begitu amat
mencintaNya”, aisyah mencium pipi adik kecil yang begitu polos
menanyakan hal yang mungkin di akal anak seusianya.
“Asslamualaikum”, “Waalaikum salam, kakak” aisyah sedikit kaget
karena yang sedang berdiri di belakangnya adalah pemuda yang ia kagumi,
“aisyah… aisyah aisyah” suara itu begitu terbata-bata dan membuat asiyah
penasaran”, “iya kak?” “aisyah… bolehkah aku mencintai mu, bolehkah aku
mencurahkan kasih sayang ku padamu, karena Allah aku mencintai dan
menyayangimu”, mendengar hal tersebut aisyah terkejut dan menundukkan
kepala, air matanya mengalir deras membasahi mukena putih yang
dipakainya, batinnya kacau dadanya begitu sesak dan nafasnya
terpatah-patah “sungguh Allah Maha Kuasa atas segala takdirNya, Maha
Suci Dia, sungguh aku sangat mengagumimu kak, tapi… tapi… tapi.. aku
sudah dikhibah oleh seorang pemuda”, tampa berkata-kata lagi aisyah
meninggalkan pemuda itu, adzam hanya bisa merenung, belum sempat ia
mengutarakan apa yang ingin ia katakan, hati adzam begitu pilu mendengar
perkataan aisyah, tapi apalah daya ia pun harus siap menikah dengan
wanita yang sudah di jodohkan kedua orangtuanya, walaupun di dalam
hatinya hanyalah Aisyah yang megitu memantapkan dirinya untuk
melaksanakan sunnah Rosulullah.
Keesokan harinya, cuaca begitu cerah matahari seakan tersenyum
bahagia, tapi bergitu berbeda dengan hati aisyah yang sedang di gundah
rasa pilu yang membuat dirinya tidak bisa memejamkan matanya, langkahnya
begitu lamban, nafasnya sesak mengikuti langkahnya menghampiri rumah
calon suaminya, “Assalamualaikum”, “waalaikum salam”, suara yang
terdengar bukanlah sorang pemuda melaikan seorang wanita separuh baya
yang membukakan pintu “nak aisyah, mari masuk nak”, “mari aisya”, sahut
laki-laki yang menjemputnya untuk mengantarnya ke rumah calon suaminya.
Hati aisyah berdebar-debar memasuki ruang tamu yang sedikit mewah
dibandingkan rumahnya, aisyah duduk dengan hati yang cemas, kepalanya
tertunduk, matanya suram, dan batinnya menjerit. “Assalamualaikum”,
pemuda itu keluar dengan menundukkan kepala “waalaikum salam”, aisyah
pun menjawab salam pemuda tersebut, dan tidak bisa mengangkat
pandangannya, “nak silahkan kalian bertatapan, karena besok adalah hari
pernikahan kalian”, suara itu begitu lantang sehingga membuat
pemuda-pemudi itu terkejut dan perapatkan padangan satu sama lain
“aisya…!!!” “kakak” aisyah terkejut melihat pemuda yang sedang berada di
depan matanya adalah sesosok pemuda yang ia kagumi, pemuda itu
tersenyum dengan begitu tulus, matanya tidak lepas dari gadis yang
sedang duduk di depannya pipi lesungnya yang terukir karena senyumannya
membuat adzam tidak bisa memalingkan pandangannya, begitu pun aisya,
perubahan suasana hatinya seperti bom atom yang meledakkan suasana
hatinya. “Ya Allah Maha Besar Engkau, Kau menyimpan begitu banyak
rahasia hamba-hambaMu hanyalah Kau yang mengetahui takdir hidupku, Maha
Suci Kau tuhan pencipta alam”, suara hati aisyah yang tergambar begitu
jelas di wajahnya, begitu pun adzam yang tidak henti-hentinya
mengucapkan puji syukur kepada Allah. Jodoh Allahlah yang mengatur tidak
ada yang bisa mengelak dari takdirNya Maha suci Allah yang menciptakan
pasangan-pasangan untuk hamba-hambaNya.
SELESAI
Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-islami/takdir-dan-harapan-cinta.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar